Advertisement
Banaspatiwatch.co.id ||Pekanbaru-- Sebuah kasus dugaan kriminalisasi yang berujung pada kekerasan fisik kembali mencoreng citra Kepolisian. Iwan Sarjono Siahaan, seorang tahanan di sel Polres Pelalawan, dilaporkan babak belur setelah berulang kali dianiaya oleh beberapa petugas. Pukulan dan penganiayaan ini diduga kuat merupakan wujud tekanan agar Iwan menandatangani berkas tahap dua (P21) ke Kejaksaan Negeri Pelalawan, sebuah tindakan yang dengan tegas ia tolak.
Istri Iwan menjadi saksi langsung atas kondisi sang suami yang babak belur, setelah suaminya dipaksa menandatangani berkas tanpa kehadiran kuasa hukumnya, Juliana Pardosi, SH, MH. Alasannya sangat sederhana: Iwan tidak mau menandatangani dokumen tanpa sepengetahuan pengacaranya, yang kebetulan sedang berada di luar kota.
Tuntutan yang wajar ini justru dibalas dengan kekerasan.
Perilaku Bejat atau Pelanggaran Prosedur?
Pengacara Juliana Pardosi, yang geram melihat perlakuan terhadap kliennya, menyebut tindakan para penyidik sebagai "sangat di luar batas kemanusiaan." Ia menegaskan bahwa perilaku bejat para penyidik di Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim) Polres Pelalawan sudah berlangsung terlalu lama.
"Perkara dengan Laporan Polisi (LP) nomor: LP/B/272/VI/2022/SPKT/RIAU ini penuh dengan tanda tanya. Kasus yang sudah tiga tahun lebih ini justru diangkat kembali. Memangnya apa yang dicuri? Apa dasar penyidik menuding klien saya mencuri? Apakah legalitas kepemilikan lahan yang katanya dicuri itu sudah dicek? Janganlah seperti ini! Kalian itu aparat penegak hukum atau preman berseragam polisi?" tegas Juliana dengan nada geram, menuntut transparansi dan profesionalisme.
Desakan Agar Mabes Polri Turun Tangan
Peristiwa ini juga memicu reaksi keras dari Larshen Yunus, Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Provinsi Riau. Ia menduga keras para penyidik telah melakukan penyalahgunaan wewenang dan kriminalisasi hukum secara brutal.
"Kami menduga kuat mereka tidak lagi bertindak sebagai penegak hukum, melainkan bagian dari persekongkolan jahat yang diatur oleh si pemesan perkara," ungkap Larshen Yunus. Ia menyoroti kejanggalan kasus yang sudah berusia tiga tahun ini, di mana sudah ada akta perdamaian, namun tiba-tiba status tersangka ditingkatkan.
"Ini sebenarnya ranah hukum perdata, bukan dipaksakan menjadi pidana. Hukum itu pembuktian, jangan main-mainkan nasib seseorang," lanjutnya dengan optimis.
Larshen mendesak Mabes Polri dan Polda Riau untuk segera melakukan supervisi dan gelar perkara khusus. Ia mengingatkan para penegak hukum untuk bersikap PRESISI (prediktif, responsibilitas, transparansi, dan berkeadilan) dan menghentikan praktik "asal bapak senang" atau stigma yang menganggap mereka senang mempermainkan nasib seseorang.
"Mereka dituduh mencuri! Kami tanya, apa yang dicuri? Punya siapa yang dicuri? Tunjukkan legalitas kepemilikannya! Kami tegaskan, segala penanganan perkara wajib PRESISI dan apa adanya, bukan ada apanya!" tegas Larshen, yang juga menjabat Ketua Umum Relawan Prabowo Gibran.
Larshen menambahkan bahwa tindakan para penyidik ini sangat tidak bisa diterima, terutama mengingat lahan yang dipersoalkan sudah diserahkan kepada negara. Ia mencurigai adanya motif kepentingan pribadi atau kelompok di balik penanganan kasus ini. "Stop kriminalisasi hukum!" serunya.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak KNPI dan relawan akan berkoordinasi dengan Mabes Polri, Polda Riau, serta lembaga eksternal terkait. Mereka mengancam akan menggelar demonstrasi untuk menuntut pencopotan Kapolres Pelalawan, Kasat Reskrim, dan jajaran yang terlibat. "Polisi seperti mereka tidak pantas menggunakan seragam dan menerima gaji dari negara," tutup Larshen."Kami masih mendalami dugaan suap Rp 500 juta dari pelapor. Mohon doa dan dukungannya!".(red)
Bersambung......