Advertisement
Banaspatiwatch.co.id || Lombok Barat-- Abubakar Abdullah wakil ketua DPRD Lombok Barat resmi melaporkan balik investor asing yang menjadi rekan bisnisnya Nigel Barrow beserta Kuasa Hukumnya Lalu Anton ke Polda NTB,Kamis(10/07/2025).Hal ini buntut dari Pascalaporan Investor asal Australia kepada Kejaksaan Tinggi (Kejati) atas tuduhan yang ditujukan pada Abubakar terkait pemerasan.
Abubakar membantah tuduhan tersebut,karena merasa nama baiknya dicemarkan maka Abubakar lewat Kuasa Hukumnya M.Arif melaporkan balik ke Polda NTB.Selain melaporkan dugaan pencemaran nama baik,Abubakar juga melaporkan dugaan penggelapan dana perusahaan yang mencapai Rp 15 milliar yang dilakukan oleh rekan bisnisnya itu Nigel Barrow.
"Ada dua laporan kita ke Polda NTB,pertama terkait pencemaran nama baik dan yang kedua terkait penggelapan keuangan perseroan PT Bakau Gili Gede.Dimana,ada Rp 15 milliar yang harus dipertanggungjawabkan dan kita meminta penyidik untuk Auditor independent,terang Kuasa Hukum Abubakar,M.Arif saat jumpa pers di Kawasan Labuapi.
Dugaan laporan penggelapan itu berdasarkan dengan bukti audit internal perusahaan PT Bakau Gili Gede atas penggunaan anggaran oleh Nigel Barrow yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.Bahkan Nigel Barrow tidak mau dilakukan audit oleh akuntan publik.
"Masa 3 bangunan yang rupanya berbentuk joglo,setelah dilakukan audit ada pengeluaran yang tidak masuk akal.Biaya untuk kepentingan taktisnya dan operasional sebagai Direktur Utama mencapai Rp 1,3 milliar,"tambah kuasa hukum Abubakar.
Menurut Kuasa Hukum Abubakar,tuduhan yang diberikan Nigel Barrow terhadap kliennya itu sangat merugikan baik secara pribadi maupun profesinya.Pasalnya tuduhan tersebut tidak berdasar baik secara fakta maupun data.Terlebih kerjasama join venture itu dilakukan kedua belah pihak di tahun 2016 jauh sebelum Abubakar menjadi anggota DPRD Lombok Barat.Bahkan isi perjanjian itu menerima Rp 1,5 milliar sebagai bagian kerjasama dan bukan pemerasan seperti yang dituduhkan.
"Jika dia ada perjanjian keperdataan disini,artinya duit Rp 1,5 milliar sebagai kontribusi kerjasamanya,"tegas M.Arif
Sejumlah bukti-bukti Autentik sudah disodorkan pihaknya kepada Polda NTB. Untuk menjerat Nigel dan Kuasa hukumnya, pihak Abu melaporkan undang-undang IT pasal 27 A, pencemaran nama baik. Sebab Nigel Barrow bersama kuasa hukumnya, Lalu Anton Hariawan diduga memfitnah.
Terlebih tuduhan itu tanpa disertai bukti yang kuat. Serta terpatahkan dengan sederet izin yang sudah lama diurus Abubakar untuk kerjasama hotel berbintang tersebut.
“Sementara mereka tidak pernah menyodorkan data sampai saat ini. Pada intinya, kita berbicara berdasarkan data,” tandasnya.
Tak cukup disitu, pihaknya juga menempuh ke jalur imigrasi untuk menguji legalitas apa yang dilakukan Nigel di Republik Indonesia.
Untuk diketahui, bahwa kronologi kerja sama bisnisnya dengan Nigel Barrow. Kisah ini bermula pada tahun 2016 ketika ia memiliki lahan seluas 2,5 hektare. Pada 31 Agustus 2016, keduanya sepakat membentuk joint venture di hadapan notaris, dengan pembiayaan masing-masing 50 persen.
“Saat itu antara Abubakar Abdullah mengeluarkan sama-sama 50 persen saham. Kemudian harga salah satu bidang tanah (yang sepakat dikerjasamakan) di joint venture dari 129 are totalnya Rp 3,6 miliar,” paparnya.
Sesuai kesepakatan, Nigel Barrow seharusnya membayar Rp 1,8 miliar untuk bagiannya. Namun, ia baru mengirimkan uang sebesar Rp 1,5 miliar sebagai sebagian pembelian lahan. Meskipun ada kesepakatan, Nigel tidak bisa memiliki hak milik atas tanah sesuai hukum Indonesia, melainkan hanya hak kelola.
Perjalanan bisnis berlanjut. Pada tahun 2018, Abubakar dan Nigel sepakat mendirikan PT Bakau Gili Gede. Nigel Barrow menjabat sebagai Direktur Utama, sementara Abubakar menjadi Direktur dengan kepemilikan saham sama-sama 50 persen. Sesuai dengan akte tanggal 19 September 2018 yang dibuat dihadapan notaris Jenny Rosini, SH. Dimana Abubakar bertugas mengurus perizinan, sedangkan WNA Australia ini mencari investor lain.
Rencana awal adalah membangun hotel di darat. Biaya pengurusan izin diperkirakan mencapai Rp 400 juta. Namun, seiring berjalannya waktu dan pertemuan dengan investor baru, rencana berubah drastis menjadi pembangunan penginapan di atas air dengan konsep water bungalow layaknya di Maldives.
“Karena menggunakan ruang laut, kami tidak hanya meminta perizinan di kabupaten tetapi juga mengurus perizinan di TKPRD Pemerintah Provinsi. Kami juga mengurus izin lokasi perairan, ada sekitar 4 hektare itu di ruang laut,” jelasnya.
Tak hanya itu, ia juga mengaku telah mengurus izin di Dinas Lingkungan Hidup Provinsi NTB pada tahun 2020 karena proyek tersebut melibatkan ruang darat dan laut. Dengan demikian, Abubakar menegaskan bahwa semua perizinan telah diurusnya.
”Jadi semua proses perizinan sudah saya lakukan. Bisa dilihat sendiri,” katanya menunjukkan sejumlah proses perizinan yang dilakukan.
Persoalan muncul ketika terjadi ketidaksesuaian antara master plan awal dengan master plan baru yang diinginkan oleh investor yang digandeng PT Bakau Gili Gede. “Kalau itu mau diubah, maka harus diubah sertifikatnya dan itu yang butuh biaya,” ungkapnya.
Perubahan master plan ini berdampak pada jumlah unit vila yang bisa dibangun, dari rencana awal 20 unit kini hanya bisa tiga unit.
“Kalau kami paksakan itu melanggar hukum karena kita harus menyesuaikan dengan izin yang ada,” tegasnya.
Sementara terkait uang Rp 1,5 miliar yang disebut sebagai “pemerasan ” sebenarnya Uang Rp 1,5 miliar itu adalah bayaran dari tanah joint venture yang telah disepakati bersama.
Ia menegaskan bahwa semua proses pengurusan izin telah dilaksanakan dari awal, dan pembengkakan biaya terjadi murni karena perubahan master plan, bukan karena perbuatan melawan hukum.(Red)