Iklan

Sabtu, 24 Mei 2025, 24.5.25 WIB
Last Updated 2025-05-24T02:15:44Z

Cuk Bakal, Energi Alam dan Spiritualitas Leluhur yang Mulai Dilupakan

Advertisement

 


BanaspatiWatch.co.id || Madiun 24 - 05 - 2024 -- Cuk Bakal adalah salah satu bentuk persembahan tradisional Jawa yang sering kali ditemukan dalam upacara-upacara adat, seperti tedhak siten, mitoni, hingga bersih desa. Dalam sebuah takir sederhana yang terbuat dari daun pisang, disusun unsur-unsur alam seperti telur rebus, lombok (cabai), dan brambang (bawang merah). Ketiganya bukan sekadar benda simbolik, tetapi mengandung makna filosofis yang dalam sekaligus mencerminkan pemahaman kosmos masyarakat Jawa terhadap harmoni antara manusia dan semesta.


Dalam pandangan tradisional, setiap unsur yang disusun dalam cuk bakal memiliki "energi alam" sesuatu yang dalam istilah modern bisa dikaitkan dengan vibrasi atau frekuensi alami dari ciptaan Tuhan. Telur melambangkan awal kehidupan, lombok sebagai perlindungan dari energi negatif, dan brambang sebagai penolak bala. Semua ini tidak disembah, namun digunakan sebagai media kontemplasi dan doa untuk keselamatan serta keseimbangan hidup.


Sayangnya, sebagian masyarakat modern, terutama yang tidak akrab dengan akar budayanya, seringkali menganggap tradisi semacam ini sebagai bentuk kesyirikan. Penilaian ini lahir dari pendekatan tekstual semata terhadap ajaran agama, tanpa mempertimbangkan konteks kultural dan nilai simbolik di balik laku budaya.


Al-Qur’an dalam Surat Al-Hadid ayat 1 menyatakan:

"Telah bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."

Ayat ini menunjukkan bahwa seluruh ciptaan, baik yang hidup maupun tak bernyawa, pada hakikatnya bertasbih kepada Sang Pencipta. Maka sangat mungkin untuk memandang bahwa unsur-unsur alam dalam cuk bakal pun ikut terlibat dalam glorifikasi semesta terhadap Tuhan,  bukan untuk disembah, melainkan untuk direnungi.


Warisan leluhur seperti cuk bakal adalah bagian dari jati diri bangsa yang tumbuh dari kearifan lokal dan spiritualitas yang dalam. Ia bukan ancaman terhadap tauhid, tetapi justru cermin bahwa para leluhur kita memiliki kesadaran ilahiah yang selaras dengan alam. Mengesampingkan atau mencapnya sebagai sirik tanpa kajian yang mendalam, sama dengan memutus akar kebudayaan dan spiritualitas kita sendiri.


Sebagai generasi penerus, tugas kita bukan hanya menjaga naskah-naskah lama, tetapi juga merawat praktik budaya yang penuh nilai dan makna. Sebab dalam tiap takir sederhana itu, tersimpan warisan besar tentang bagaimana manusia Jawa memahami Tuhan, alam, dan dirinya sendiri.


Penulis: tyawanaji